Max Payne 3 (2012): Mantan Polisi yang Brutal

Ini adalah salah satu game yang paling saya tunggu-tunggu. Max Payne (1&2) adalah salah satu game third person shooter terbaik. Mereka kadang-kadang masih saya mainkan. Begitu mendengar Max Payne 3 sedang dikembangkan, saya pun tak sabar menunggu rilisnya.

Bullet Cam dalam Max Payne 3 memungkinkan kita melihat Max dari depan seperti ini

Bullet Cam dalam Max Payne 3 memungkinkan kita melihat Max dari depan seperti ini

Ternyata, Max Payne 3 sudah tidak dikembangkan oleh Remedy –pembuat Max Payne 1 & 2. Rockstar, yang terkenal dengan Grand Theft Auto, Red Dead Redemption, dan LA Noire, adalah developer yang mengembangkan Max Payne 3.  Saya sempat bertanya-tanya, apakah Rockstar akan mengubah Max Payne secara mendasar, misal atmosfer noir-nya atau bullet time-nya?

Akhirnya, satu setengah tahun  yang lalu, saya dapatkan versi PC game yang saya tunggu-tunggu ini. Begitu melihat salah satu kebutuhan sistem-nya, saya gusar. Game ini membutuhkan ruang hard disk sebesar 30 GB. Belum pernah saya mendapatkan game yang membutuhkan ruang sebesar ini. Pada 2006, Stranglehold yang membutuhkan 16 GB saja sudah cukup membuat saya menggerutu. Waktu mendapatkan Max Payne 3 ini, sudah tidak ada lagi drive saya yang memenuhi kebutuhan sistem-nya. Akhirnya, master game ini ngendon saja tak tersentuh. Baru sebulan lalu, saya bersih-bersih hard disk –tentu dengan meng-uninstall beberapa game yang harus saya relakan- dan mendapatkan ruang 40 GB. Akhirnya, terinstall juga game yang sudah saya tunggu satu setengah tahun ini.  Oke, Max, selamat bertemu kembali dengan saya.

Scene pertama memperlihatkan Max sedang minum minuman keras. Lalu, beranjaklah ia dan berjalanlah ia. Layar kemudian memperlihatkan efek transformasi. Dan bergantilah langkah kaki Max dalam sebuah adegan lain. Ia sedang berjalan menuju seorang berpakaian seragam (polisi atau militer?) yang sedang tergeletak dan beringsut perlahan karena tubuhnya dipenuhi luka bakar. Di sekeliling, terlihat kobaran api dan beberapa pesawat. Lalu, terdengarlah gumam Max, “So, I guess I’d become what they wanted me to be, a killer.” Selanjutnya, kita tahu bahwa Max telah berubah. Wajahnya dipenuhi cambang, dan kepalanya gundul. Oh, gundul lagi. Layar menampilkan efek transformasi lagi, dan muncullah wajah Max sebagaimana yang saya pernah lihat di Max Payne 2, hanya tampak lebih tua.

Max Payne 3 mengambil setting sembilan tahun setelah akhir kejadian di Max Payne 2; yaitu matinya Mona Sax. Max sudah tidak menjadi polisi lagi. Ia dipecat dari kepolisian New York karena bekerja sama dengan Mona. Max pindah ke Hoboken, New Jersey, di mana ia kecanduan alkohol dan penghilang rasa nyeri atau painkiller.

Pada suatu malam di bar tempat biasanya ia minum, Max terlibat keributan dengan Anthony DeMarco, Jr., anak dari bos mafia lokal. Saat itu juga, datanglah Raul Passos, teman seangkatan Max di akademi polisi, yang Max tidak yakin mengenalnya. Raul menawarinya untuk bekerja sebagai pengawal pribadi di Brazil. Awalnya, Max menolak. Saat terjadi tembak menembak, Raul menolong Max dalam keributan dengan DeMarco, Jr. dan gengnya. Setelah kejadian itu, Max pun setuju dengan tawaran Raul.

Itulah awal Max bisa sampai ke Brazil. Sebenarnya, cerita di atas tampil di Chapter IV. Memang, Max Payne 3 tidak tersaji secara kronologis –sebagaimana Max Payne 2 yang dulu sempat membuat saya bingung (sebenarnya berapa kali Max terbangun di rumah sakit?).

Sebelum berlanjut, sedikit sinopsis berikutnya dari saya ini mengandung bocoran cerita. Jadi, walaupun ini bukan sinopsis utuh, namun di dalamnya ada bocoran cerita. Anggap saja perkataan saya tadi semacam spoiler warning. Saya sudah mengingatkan.

Scene yang memperlihatkan wajah lama Max, hanya tampak lebih tua, ternyata sudah bersetting di Brazil. Max sedang berada di sebuah pesta keluarga Branco di Sao Paulo. Keluarga ini terdiri dari tiga bersaudara: Rodrigo, seorang pebisnis; Victor, seorang politisi; dan si bungsu Marcello, tukang pesta. Keluarga Branco inilah yang mempekerjakan Max dan Raul sebagai pengawal pribadi mereka.

Pada saat pesta inilah, terjadilah keributan. Sekelompok geng bermaksud untuk menculik Rodgrigo dan istrinya, Fabiana. Namun, Max dapat menyelamatkan mereka. Sepanjang Chapter I, ini kita akan dipandu bagaimana memainkan game ini. Ada beberapa fitur khas Max Payne yang dipertahankan seperti bullet time dan shootdodge. Ada juga mekanis tambahan yang tambah membuat game ini lebih menarik. Mekanis-mekanis ini nanti akan saya rangkumkan di belakang saja.

Beberapa hari kemudian, Fabiana, Giovanna (adik Fabiana yang juga pacar Raul), dan Marcello menjadi target penculikan lagi di sebuah kelab malam oleh geng yang sama, Comando Sombra. Geng ini berhasil menculik Fabiana. Max dan Raul lalu membawa uang tebusan kepada geng penculik ke sebuah stadion sepak bola, namun pertemuan ini tidak berhasil, karena tiba-tiba saja sebuah geng lain, yang berkarakter paramiliter, mengacaukan pertemuan ini. Geng paramiliter ini,  yang disebut sebagai Cracha Preto, berhasil mencuri uang tebusan yang dibawa Max. Max dan Raul lalu memutuskan untuk menyerbu markas Comando Sombra untuk menyelamatkan Fabiana, namun geng ini dapat melarikan diri, bersama Fabiana.

Max dan Raul lalu kembali ke keluarga Branco untuk mendiskusikan situasi ini dengan mereka dan dengan Armando Becker, pemimpin unit khusus kepolisian, Unidade de Forcas Especiais (UFE). Saat Rodrigo dan Max ditinggalkan oleh lainnya, Cracha Preto menyerbu gedung Rodrigo. Saat Max membantu agar sistem keamanan kembali berfungsi, Rodrigo dibunuh di kantornya. Max kembali ke kantor Rodrigo, menemukan mayat Rodrigo, dan bom di bawah mejanya. Bom meledak dan gedung pun terbakar. Max harus lari dari gedung  yang terbakar. Ia pun lalu tahu bahwa memang ada yang memasang beberapa bom di sepanjang gedung tersebut. Tampaknya, kabur dari bangunan yang terbakar memang sudah jadi keharusan di Max Payne, selain bullet time, shootdodge, dan painkiller. Saat keluar, Max menemukan seorang anggota Cracha Preto dan menginterogasinya sebelum orang malang ini mati. Ia lalu tahu bahwa Fabiana disekap di kampung kumuh di Sao Paulo dan Max lah yang menjadi target penyerangan ini, bukan Rodrigo.

Hm. Gundul lagi.

Hm. Gundul lagi.

Merasa bersalah atas apa yang terjadi pada keluarga Branco, Max memutuskan untuk meninggalkan alkohol -akhirnya- dan mencukur rambutnya -oh tidak. Hm, mengapa harus mencukur rambut, ya? Seperti Kevin Bacon di Death Sentence saja. Konon, Max mencukur rambut untuk penyamaran, karena ia akan mencoba menyelamatkan Fabiana.

Saat tiba di perkampungan kumuh, Max diberi tahu oleh detektif setempat, Wilson Da Silva, bahwa Cracha Preto mempunyai hubungan dengan Rodrigo. Mereka pernah disewa oleh Rodrigo untuk membersihkan penduduk dari tanah-tanah yang ingin ia jadikan proyek. Da Silva juga mengungkapkan lokasi penyekapan Fabiana.

Max berkonfrontasi dengan geng di kawasan kumuh untuk menemukan FAbiana. Akhirnya ia tidak hanya menemukan FAbiana, juga MArcelo dan Giovanna yang sedang tertangkap karena mereka memutuskan sendiri untuk membayar tebusan atas Fabiana.

Max pun merangsek menyerbu rumah tempat mereka disekap. Max dilucuti. Melihat pemimpin Comando Sombra, Serrano, menodong-nodongkan pistol ke Giovanna, Max memohon, “Don’t kill her! Don’t you…” Serrano pun menjawab, “Okay,” lalu mengalihkan pistolnya ke arah Fabiana, dan dor. Serrano menembak Fabiana, mati di tempat.

Oh Fabiana, susah-susah diselamatkan ternyata matimu cuma begini saja

Oh Fabiana, susah-susah diselamatkan ternyata matimu cuma begini saja

Adegan ini sungguh tak terduga. Sungguh tak saya duga. Saya mengira Fabiana akan selamat. Atau paling tidak, jika mati, ia akan mati di akhir cerita. Atau pun jika terlihat mati, kepastian kematiannya akan menjadi misteri, sebagaimana Mona Sax di Max Payne 1. Namun, Fabiana benar-benar mati dengan kepala berlubang dan darah bersimbah. Ini merupakan twist yang menarik dari game ini.

Kematian Fabiana mengingatkan saya akan karakter James Whistler di Prison Break Season 3. Pada season tersebut, Whistler mati-matian dijaga oleh Schofield agar tidak mati karena Whistler-lah yang memegang kunci agar Schofield bisa lolos dari Sona. Begitu masuk season 4, Whistler mati dengan penggambaran yang sama sekali tidak dramatis. Berdiri di pinggir jalan lalu dor, matilah ia. Serupa dengan Whistler, kematian Fabiana digambarkan dengan sederhana. Sekali pistol Serrano bergerak lalu dor, matilah Fabiana. Tidak ada adegan bom akan meledak, atau mobil yang akan jatuh di pinggir jurang. Sederhana. Sungguh, bagi saya, pengembangan cerita pada bagian ini amat menarik.

Perjalanan Max selanjutnya mengungkap tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sedikit sinopsis saya stop sampai di sini. Akan lebih menarik bagi Anda untuk mengetahui kelanjutan jalan ceritanya dengan memainkannya.

Bullet  time otomatis mengharuskan Max menghabisi musuh dalam rentang waktu tertentu

Bullet time otomatis mengharuskan Max menghabisi musuh dalam rentang waktu tertentu

Saya bersyukur, Rockstar tidak menghapus bullet-timenya. Dan saya pikir, tidaklah mungkin Rockstar akan menghapus mekanis game satu ini. Jika mereka melakukannya, mereka pasti akan diprotes habis-habisan. Pada Max Payne 3 ini, bullet time dipermak menjadi lebih bagus. Selain melihat jejak peluru, kita juga akan melihat selongsong-selongsong yang beterbangan dalam gerak lambat. Cool gitu lah. Selain bullet time yang terjadi sesuai kehendak kita, ada juga bullet time yang by design dalam game ini. Artinya, tidak bisa tidak, dalam beberapa aksi, game otomatis masuk ke bullet time dan Max harus menghabisi musuh-musuh dalam rentang bullet time ini.

Last Man Standing yang cool memungkinkan kita melihat kebrutalan yang artistik

Last Man Standing yang cool memungkinkan kita melihat kebrutalan yang artistik

Bullet time juga otomatis akan terpicu dalam mekanis Last Man Standing. Last Man Standing akan terpicu jika Max kehabisan banyak kesehatannya, lalu pemain akan diberi rentang waktu dalam bullet time untuk menghabisi musuh yang akan menghabisi Max. Walaupun demikian, fitur ini hanya terjadi jika Max punya satu atau lebih painkiller. Saya suka banget dengan fitur satu ini. Saya jadi lebih sering melihat kematian orang dengan lebih artistik.

Bullet cam juga kembali hadir. Bullet cam akan terpicu pada matinya musuh terakhir pada suatu stage. Asyiknya lagi, kita bisa lebih melambatkan bullet cam, sehingga kematian musuh jadi kelihatan lebih dramatis dan artistik. Sayang, saat kita melambatkan bullet cam ini, warnanya jadi agak sepia, sehingga kurang realistis gitu. Mungkin ini ada hubungannya dengan pengurangan ekspos kekerasan dan darah dalam game ini. Masih mending daripada slaughter mode yang jadi hitam putih pada The Punisher (2005).

Demikian juga dengan bullet cam-nya

Demikian juga dengan bullet cam-nya

Max Payne 3 juga menghadirkan mekanis baru, yaitu cover system alias mekanisme berlindung di balik dinding, meja, atau benda apa pun yang bisa dipakai untuk berlindung. Ini juga menjadikan Max Payne 3 lebih realistis. Sejak tahu cover system di Gears of War, saya merasa cover system ini seharusnya menjadi kewajiban pada third person shooter. Soalnya, pada kenyataannya, selain jongkok (crouch) kita juga sering melihat karakter film aksi juga berlindung di balik dinding. Rasanya aneh jika protagonis di third person shooter game hanya bisa crouch tanpa berlindung di balik cover.

Selain cover system, Max Payne 3 juga menghadirkan satu mekanis baru lagi di serinya -yang saya benci: quick time event. Ada  saat di mana Max harus menangkis, merebut golok, menendang, dan menggorok leher lawannya. Jika terlambat, …yeah, Max mati. Untung saja, tombol yang keluar selalu itu-itu saja, tidak seperti di Resident Evil 4 yang berganti-ganti semaunya.

Nostalgia Max Payne 1 dan 2 dengan grafis yang lebih bagus

Nostalgia Max Payne 1 dan 2 dengan grafis yang lebih bagus

Bagaimana dengan atmosfir noir-nya? Fan Max Payne masih akan bertemu dengan suasana malam di New Jersey yang sepi dan dingin pada dua chapter. Chapter IV dan VIII ini lumayan mengobati kerinduan akan Max Payne  1 dan 2 dalam grafis yang lebih baik. Selain kedua chapter ini, Max Payne 3 akan bersetting di Brazil yang panas dan tidak seterusnya pada malam hari.

Kesuraman game ini terfokus terutama pada tampilan Max yang depresif. Ia suka banget merokok, mabuk, dan minum painkiller. Tampaknya, kesedihannya akan peristiwa di seri 1 dan 2 belum sembuh benar. Namun, Max yang depresif ini hanya tampak pada separo awal game. Setelah Rodrigo terbunuh, Max meninggalkan alkohol dan mencukur gundul kepalanya. Berbeda dengan kebrutalannya. Aksi pembantaian penuh darah sudah dimulai sejak chapter pertama dan sampai chapter yang terakhir. Jika musuh yang dibunuh mencapai jumlah tertentu, di layar akan tampil notifikasi. Misalnya, 1000 enemies killed. 1000? Ya. Coba hitung sendiri.

Brutal. Tidak ada Safe Mode atau Parent Mode atau semacamnya

Brutal. Tidak ada Safe Mode atau Parent Mode atau semacamnya

Level kebrutalan Max Payne 3 lebih tinggi daripada dua seri sebelumnya. Jika pada kedua seri sebelumnya kita bisa mematikan efek darah, tidak pada seri ketiga ini.  Darah dan adegan kekerasan yang brutal tampil tercurah tak henti-henti. Darah yang tampil pun sudah lebih realistis daripada seri sebelumnya. Bahkan kita bisa melihat tubuh musuh Max yang terpotong akibat ledakan lengkap dengan luka menganga yang memperlihatkan organ dalam tubuhnya. Pada salah satu chapter, kita juga bisa melihat cutscene yang menampilkan mayat-mayat bergelimpangan korban pembantaian.

Replay value pada Max Payne 3 ini masih standar-standar saja. Hanya berubah sedikit. Pada mode single player, hadirlah New York Minute yang lumayan menantang. Kita hanya diberi waktu 1 menit. Waktu akan bertambah jika kita bisa menghabisi satu musuh, dan akan bertambah lagi jika kita menghabisi musuh lainnya. Pada single player juga, tersedia mode Score Attack. Mode ini akan memberi skor kepada kita tergantung kemampuan kita menghabisi musuh. Menembak musuh di dada akan berbeda skornya dengan menembak musuh tepat di kepala, atau menghabisi mereka dengan meledakkan tabung gas.

Jika Anda pernah memainkan Max Payne 1 dan 2, seri ketiga ini wajib Anda mainkan. Ada hal-hal lama yang nostalgik, ada juga hal-hal baru yang membuat game ini lebih menarik. Jika Anda belum pernah memainkan Max Payne, bagaimana pun juga game ini layak Anda coba.